Dinasti Mamluk

PENDAHULUAN

Dalam Sejarah Peradaban Islam, setelah masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin bermunculan Dinasti-dinasti kecil yang yang terus berkembang dan memberikan pengaruh besar bagi dunia. Diantara dinasti-dinasti tersebut adalah Dinasti Mamalik yang memberikan sumbangan besar bagi dunia khususnya peradaban di negara Mesir.
Pada pertengahan abad ke-19 M, saat Mesir berada dalam kekuasaan Dinasti Mamalik, negara tersebut selamat dari kehancuran akibat serangan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Selain itu juga, dinasti Mamalik dapat menyelamatkan bangsanya dari serangan tentara Salib. Hal tersebut diraih karena dinasti Mamalik memiliki kekuatan militer yang tangguh.
Para Sejarawan berpendapat bahwasanya kemenangan yang dicapai oleh bangsa Mamluk merupakan sebuah kemenangan yang sangat mendunia. Karena Dinasti tersebut adalah satu-satunya dinasti yang berhasil mengusir bangsa Mongol. Dan ditangan tentara  Mamluk pulalah perjalanan  perang Salib yang berlangsung selama dua abad berakhir pada tahun 690 H ( 1291 M).
   
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Dinasti Mamalik
Kata Mamalik jamak dari Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Hamba tersebut dibeli dari Asia Kecil, Circassia Turkoman atau Mongol dan dari Yunani. Mereka dibeli oleh raja-raja Bani Ayyub di pasar Nuchasah untuk dilatih menjadi tentara.[1]
Seorang Mamluk berbeda dengan ‘Abd. Mamluk berarti seorang hamba yang berasal dari ibu dan bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba). Sedangkan ‘Abd ialah seorang hamba sahaya yang dilahirkan dari ibu dan bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual. Perbedaan lain yang mendasari keduanya ialah Mamluk berkulit putih dan ‘Abd berkulit hitam.
Dinasti Mamluk didirikan oleh para budak. Para budak tersebut awalnya adalah orang-orang yang ditawan oleh para penguasa Dinasti Ayyubiyah. Mulanya mereka dijadikan sebagai budak, namun kemudian mereka diberikan pendidikan dan dijadikan tentara dinasti tersebut.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub, budak-budak tersebut dijadikan sebagai pengawal untuk menjaga kelangsungan pemerintahannya. Budak-budak tersebut ditempatkan terpisah dari masyarakat dan diberikan tempat istimewa.[2] Ketika menjadi pengawal Raja, mereka juga dibekali dengan ilmu kemiliteran sehingga jabatan mereka diangkat menjadi tentara yang bertugas di pemerintahan dan mereka juga mendapatkan imbalan materi dari Sultan.
Golongan Mamluk yang pertama dikenal dengan sebutan Al-Mamalik Al-Bahriyyah (para budak lautan), karena mereka berasal dari daerah yang berada di pulau Raudhah di tepi Sungai Nil. Sedangkan golongan Mamluk yang kedua dikenal dengan sebutan Al-Mamalik Al-Barjiyah (para budak benteng), karena para budak tersebut ditempatkan di suatu benteng yang mempunyai menara (buruj).[3]

1.    Mamluk Bahriyah
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan kepada tempat yang mereka diami, yakni pulau ar-Raudhah. Pulau ini terhubung dengan sungai Nil. Kawasan ini dikuasai oleh Dinasti Mamluk pada tahun 648- 793 H (1250- 1390 M).[4]
Tempat yang didiami tentara Mamluk Bahriyah tersebut dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan materi-materi sipil dan militer serta keagamaan.
Ada hal yang menarik dari kisah kepemimpinan masa dinasti Mamluk Bahriyah, yakni adanya ambisi yang sangat kuat dari seorang Mamluk wanita yang bernama Syajaratuddurr untuk menjadi seorang Sultan. Dia adalah isteri dari sultan Bani Ayyub, Sultan Saleh Najmuddin  Ayyub.
Setelah kematian Salahuddin Al-Ayyubi, pemimpin dinasti Ayyubiyah, peperangan terus berlangsung antara para penggantinya dengan pasukan Salib. Pada masa kekuasaan Raja Shalih Ayyub, pasukan Salib menyerang Dimyath, Mesir di bawah pimpinan Raja Prancis Louis IX  yang kemudian berhasil menguasai kota Dimyath pada tahun 647 H. Sultan Saleh Najmuddin Ayyub pun segera memimpin pasukannya untuk menghadapi pasukan Salib, tetapi dia wafat di tengah perjalanan. Dan ada pula Sejarawan yang berpendapat bahwasanya ia meninggal dalam pertempuran melawan pasukan Louis IX tersebut.[5]
Ketika terjadi peperangan di Dimyath, Mesir tersebut, Putra Mahkota Turansyah pada saat itu sedang berada di Syam. Untuk menjaga semangat pasukan Islam, Syajaratuddurr  menyembunyikan berita kematian suaminya dan mengambil alih kekuasaan suaminya tersebut sampai putranya tiba. Syajaratuddur terus mengeluarkan perintah  atas nama suaminya hingga akhirnya pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukan Salib.
Ketika Turansyah sampai di Mesir, barulah Syajaratuddur mengumumkan kematian suaminya dan langsung menyerahkan tahta kerajaan kepada anak tirinya, Turansyah[6] untuk menyelamatkan negara dari serangan kaum Salib. Turansyah datang ke Mesir dengan bala tentara Mamluk yang berasal dari Mesopotamia.
Ketika itu terjadi petrempuran antara tentara Mamluk yang dipimpin oleh Turansyah dengan tentara Salib di daerah Mansyuriah yang berlangsung sengit dan berakhir dengan kemenangan di genggaman Turansyah. Dengan kemenangan yang dicapainya itu kemudian ia menjadi penguasa di Mesir yang memegang tampuk kekuasaan dinasti Mamluk. Turansyah mulai mempromosikan anak buahnya yang berasal dari suku Kurdi untuk menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, hal tersebut tentunya mengakibatkan terjadinya kecemburuan dan iri hati serta ketakutan dari kelompok Mamluk pengikut Syajaratuddur (Mamluk Bahri. Karena ketidakharmonisan inilah terutama perlakuannya yang tidak simpatik kepada ibu tirinya, maka pada tanggal 28 Muharram 648 H/ 2 Mei 1250 sekelompok perwira Mamluk Bahri yang dipimpin oleh Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah, dan mereka lalu memproklamirkan Syajaratuddur menjadi sultan penguasa dinasti yang baru, sekaligus sebagai penguasa pertama perempuan dalam kerajaan Islam.[7]
Atas dukungan para pemuka Mamluk, Syajaratuddur dapat berkuasa penuh sebagai seorang Sultan selama 80 hari. Namun kemudian masa kepemimpinannya berakhir, karena mendapat teguran dari seorang Khalifah Mu’tashim Billah di Baghdad bahwasanya seorang pemimpin yang berhak untuk memipin sebuah negara adalah seorang pria bukan wanita. Dengan begitu juga dalam Islam sudah jelas digambarkan bahwasanya jika suatu negara dipimpin oleh seorang wanita maka akan hancur negara tersebut.
Setelah pencopotan kepemipinannya dalam dinasti Mamluk, permaisuri Raja Shalih Ayyub itu memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang lelaki yang bernama Izuddin Aibak. Keputusan tersebut diambilnya karena agar kepemimpinan dinasti Mamluk berjalan dengan baik dan tetara-tentara di dalamnya tetap kokoh dan ia tetap bisa berkuasa dalam dinasti Mamalik walau dibalik layar.[8]
 Izuddin Aibak adalah seorang Mamluk yang menjadi Washi atas Al-Ayyubi Al-Asyraf Musa yang masih bayi dan langsung dijatuhkan  oleh Aibak, yang kemudian menjadi diktator Mesir, dan sekaligus menjadi Sultan Mamluk Bahriyah pertama di Mesir. Dengan demikian, terhapuslah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di kawasan tersebut [9] dan pembentukan dinasti Mamluk di Mesir resmi didirikan.
Sultan Aibak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Namun karena ia dianggap terlalu memonopoli kekuasaan dan terutama setelah rencananya untuk menikahi salah seorang pangeran putri dari Mousul, menimbulkan sakit hati dan amarah Istrinya Syajaratuddur. Lalu ia berusaha membunuh suaminya dan usaha ini berhasil dilakukannya dengan bantuan pengikutnya pada tanggal 25 Rabiul Awal 655 H./12 April 1257 M. Rupanya selain permaisurinya pun ada seorang tokoh Mamluk yang merasa tidak suka dengan kepimpinan Aibak. Ia adalah Baybars. Mengenai hal tersebut, Baybars mengasingkan diri ke Syria.
Melihat perlakuan ibu tirinya yang kejam tersebut, putran Sultan Izuddin Aibak yang bernama Nuruddin bin Aibak kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Syajataruddurr  melalui perantaraan beberapa tentara istana.[10]
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwasanya kemelut politik dalam dinasti Mamluk sangatlah sengit. Para Mamluk sangat haus akan kekuasaan. Degan begitu untuk mendapatkan kekuasaan dalam dinasti pun mereka seolah menghalalkan segala cara, sekalipun cara tersebut dilalui dengan pembunuhan.
Setelah Syajaratuddurr dibunuh oleh anak tirinya, maka pemerintahan dinasti Mamluk berada dalam kuasa Nuruddin bin Aibak (1257-1259). Namun, karena pada saat itu usia Nuruddin bin Aibak dianggap terlalu sangat muda untuk menjadi seorang pemimpin, tidak lebih ia dianggap hanya sebagai pengisi kekosongan tahta kerajaan dengan tujuan untuk meredam persaingan perebutan kekuasaan di kalangan tokoh Mamluk. Tidak lama memerintah, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang sultan. Kemudian kekuasaan dinasti Mamluk berpindah tangan kepada wazirnya yang beranama Saifuddin Quthuz.
Pada saat itu pula pasukan Mongol kembali menyerang kota Baghdad dan berhasil membunuh khalifah Mu’tashim Billah. Mendengar hal tersebut, para Ulama dan Panglima perang Mesir segera mengadakan musyawarah untuk menurunkan Nuruddin bin Aibak dari jabatannya dan mengangkat Saifuddin Quthuz untuk kemudian menjadi penggantinya. Hal tersebut dilakukan demi mengamankan kota Mesir dari serangan pasukan Mongol Tar-tar di bawah pimpinan Hulagu Khan tersebut.
Setelah Sultan Quthuz naik tahta menggantikan Nuruddin bin Aibak, Baybars kembali ke Mesir dan diangkat menjadi panglima perang oleh Sultan Quthuz untuk persiapan tentara perang melawan Mongol.[11]
Pada tanggal 3 September 1260 terjadi pertempuran pertama di kawasan Timur Tengah tepatnya di dekat sungai jalut, yakni Pertempuran “Ain Jalut”. Tentara Mamluk yang pada saat itu dipimpin oleh Baybars maju sebagai pasukan yang melawan tentara Mongol. Peperangan ini dimenangkan oleh pasukan Mamluk yang dipimpin oleh Quthuz dan Baybars. Tentara Mamluk adalah satu-satunya pasukan tentara yang berhasil mengahncurkan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Pada saat itu kaum Mamluk berhasil mengembalikan wibawa pasukan Islam dan membuat kesultanan Al-Mamluk menempati posisi yang prestisius di tengah seluruh kesultanan Islam. Saat itu, Mesir menjadi pemimpin baru dunia Islam dibawah kekuasaan multirasial yang terdiri dari orang-orang Turki, Romawi, Eropa, dan Cirassia.[12]
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam catatan sejarah ummat Islam di dunia. Karena ummat Islam berhasil mengalahkan kaum Mongol dan mengusirnya dari tanah Arab. Dengan begitu, ummat Islam berhasil pula menghancurkan mitos yang mengatakan bahwasanya tentara Mongol tidak akan pernah bisa terkalahkan oleh tentara manapun.
Dengan kemenangan ini pula, tentara Mamluk berhasil menyatukan kembali keharmonisan bangsa Mesir dan Syam di bawah naungan Dinasti Mamluk setelah sebelumnya mengalami perpecahan pada Dinasti Ayyubiyah.
Pada masa pemerintahan Baybars juga tentara Mamluk berhasil memporak-porandakan tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Syiria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia). Tidak hanya itu, Baybars juga mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258.[13]
Diantara prestasi gemilang Baybars setelah kemenangan dalam pertempuran Ain Jalut  lainnya adalah merebut kembali kota-kota benteng yang masih dikuasai oleh pasukan Salib. Antara lain adalah kota benteng Arsuf, Safad, Arkad, kota Antioch dan mengekspansi kota Okka hingga akhirnya pada tahun 1272 M pimpinan tentara Salib Perancis, Edward of England, meminta gencatan senjata 10 tahun dengan kesediaan membayar jizyah (upeti) tahunan ke Mesir.
Selain kegiatan ekspansi, Sultan Baybars juga mengadakan pembangunan-pembangunan untuk melengkapi infrastruktur di Mesir, Palestina, dan Syiria. Selain itu juga Sultan Baybars mengadakan tradisi menyiapkan kain kiswah (pakaian kakbah) untuk Baitullah di Mekah dan mengantarkan kain kiswah tersebut dengan serangkaian upacara yang dilakukan setiap musim ibadah haji. Tradisi lainnya juga adalah menempatkan empat imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) para pengunjung kakbah yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Hingga saat ini kedua tradisi tersebut masih dilakukan dengan baik.[14]
Setelah Sultan Baybars, yang kemudian mengambil peran  memegang tongkat kekuasaan dinasti Mamluk adalah Sultan  Qalawun. Pada masa kepemimpinannya, Qalawun meneruskan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh Baybars.  Pada masa Qalawun juga banyak memberikan prestasi khususnya menyumbangkan jasa dalam hal pengembangan administrasi pemerintah, perluasan hubungan inernasional untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan luar negeri. Qalawun juga banyak mendirikan bangunan-bangunan di Mesir yang banyak dikagumi sampai zaman sekarang. Bangunan tersebut berupa bangunan sosial seperti rumah sakit, rumah yatim dan penampungan orang cacat.
Tidak hanya cakap dalam urusan administrasi dan mendirikan bangunan, sultan Qalawun juga dapat menggerakkan tentara Islam untuk bersatu kuat dalam menghadapi serangan bangsa Mongol beriktnya di bawah pimpinan Abaga Khan (anak Hulagu Khan) yang berniat ingin menebus kekalahan pasukan ayahnya. Pertempuran ini pecah di wilayah Homas, Syiria Utara yang memberikan kemenangan di tanga pasukan Islam.
Dalam kegiatan ketentaraan, sultan Qalawun juga berhasil menghancurkan serangan tentara Salib dan dapat mengakhiri kekuasaan Salibiyah yang sudah berjaya sekitar dua abad lamanya. Kini Qalawun dapat mengcabut angan-angan pasukan Salib untuk menjadi penguasa negeri-negeri Islam bahkan mereka ingin membebaskan kota kelahiran Nabi Isa sebagai penebus dosa mereka.[15]
Setelah masa pemerintahan Qalawun, pemerintahan Mamluk dilanjutkan oleh putranya yang bernama Nashir Muhammad selama tiga tahun dan selama pemerintahannya ia mengalami dua kali turun tahta. Pertama, ia digulingkan oleh panglimanya sendiri ketika berusia 9 tahun, yakni Katguba Al-Manshur dan kemudian kesultanan diambil alih oleh sultan Lajin. Berhubung Lajin tidak menadapat dukungan dari pihak manapun, baik dari Mamluk atau masyarakat, kemudian Nashir Muhammad bin Qalawun diangkat kembali menjadi sultan Mamluk untuk kedua kalinya. Kedua, sultan Nashir kembali turun tahta ketika terjadi ambisi politik dan Bani Baybars berhasil mengambil alih kekuasaan dan menjadi sultan. Namun, atas dukungan para Mamluk di Syam dan masyarakat umum lainnya, Nashir kembali diangkat menjadi sultan untuk ketiga kalinya.[16]
Setelah berakhirnya masa kepemimpinan Bani Qalawun kekuasaan dinasti Mamluk dipegang oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga 9 sultan yang memimpin. Akan tetapi, kesembilan sultan tersebut hanyalah simbol nama kekuasaan saja dan tidak memiliki pengaruh besar bagi masyarakat umum lainnya di Mesir.
Selama masa pemerintahan dinasti Mamluk Bahri tercatat ada 28 sultan yang memimpin pemerintahan. Diantaranya ada yang mengakhiri kepemimpinannya dengan dicopot, dibunuh, dan wafat.
Akhir dari masa pemerintahan dinasti Mamluk Bahri pada tahun 1390 M. Sultan yang mengakhiri masa dinasti Mamluk Bahri adalah Sultan Shalih Hajj bin Sya’ban. Dikarenakan usianya yang masih kecil, ia hanya memerintah selama dua tahun dan kemudian kekuasaan diambil alih oleh Sultan Barquq yang merupakan awal dari kepemimpinan dinasti Mamluk Burji.[17]

2.    Dinasti Mamluk Burjiyah
Dinisbatkan kepada “menara-menara” (abraj) benteng yang mereka diami. Bangsa Mamluk menguasai kawasan ini sampai mereka ditumpas oleh Sultan Salim I dari bangsa Daulah Utsmaniyah pada tahun 923 H (1517 M). Dan Raja-raja yang terkenal dari Dinasti Mamluk Burjiyah adalah Barquq, Al-Asyraf Saifuddin Qaitbay, dan Al-Asyraf Qanshuh Al-Ghauri Raja terakhir d Dinasti Mamluk. [18]
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya Sultan Barquq (784 H/ 1382 M- 801 H/ 1517 M). Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara masa pemerintahan Mamluk Bahri dengan Mamluk Burji, baik dari segi status para Sultan yang dimerdekakan ataupun dari segi sistem pemerintahan yang oligarki. Hal-hal yang membedakan keduanya adalah suksesi pemerintahan dinasti Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji lebih banyak terjadi karena perang saudara dan huru-hara. Dan pada masa Mamluk Bahri para tentaranya diberikan tempat istimewa yang terpisah dari masyarakat. Sebaliknya, pada masa Mamluk Burji sistem pendidikan kemiliteran tidak lagi ketat, mereka diperbolehkan tinggal di luar pusat-pusat latihan bersama rakyat biasa.[19]
Berakhirnya masa pemerintahan Mamluk Burji dikarenakan masalah internal di istana sendiri. Yakni masalah para penguasa dan pegawai istana dinasti Mamluk Burji yang berperangai buruk. Misalnya saja mereka berbuat kejam, curang,  melakukan pembunuhan, dan lainnya. Salah satu contohnya misalnya Sultan Al-Mu’ayyan seorang Mamluk yang dibeli oleh Sultan Barquq terkenal degan pemabuk berat dan seorang yang seringkali melakukan perbuatan keji.[20]
Selain itu juga, ada sultan yang korupsi dan melakukan monopoli perdagangan. Misalnya Sultan Barsibai yang melarang impor rempah-rempah dari India, padahal ia termasuk importir lada yang sangat dibutuhkan. Sebelum harga rempah tersebut naik, ia memonopoli persediaan rempah yang ada dan kemudian menjualnya ketika rempah tersebut langka dan harganya melambung tinggi. Dengan begitu, ia mendapatkan laba yang tinggi dari konsumen.
Ada juga sultan yang memiliki gaya hidup berlebihan tanpa memikirkan nasib rakyatnya. Hal ini diperlihatkan oleh gaya hidup Sultan Nashir yang memerintah Mamluk Burji selama tiga kali. Misalnya, ketika ia mengadakan pesta pernikahan anaknya yang mewah. Ia menyediakan jamuan 18.000 irisan roti, menyembelih 20.000 ekor hewan ternak, dan menyalakan 3.000 lilin untuk menerangi istananya. Selain itu juga, ia memiliki kegemaran berkuda dan rela mengeluarkan uang sebanyak Tiga puluh ribu dinar untuk memenuhi hobinya tersebut. Namun, demi memenuhi kesenangannya  tersebut, ia bebankan pada rakyatnya untuk membyar pajak negara lebih tinggi.[21]
Dan faktor eksternal yang melatarbelakangi berakhirnya pemerintahan Mamluk Burji adalah para pemimpin Mamluk Burji tidak peduli dengan urusan kepemerintahan dan rakyat. Hal tersebut kemudian tersebar pada musuh lamanya, yakni bangsa Mongol yang berkeinginan merebut kembali kekuasaan Mamluk dan juga tersebar pada pasukan Utsmani yang pada saat itu sedang giat melakukan ekspansi wilayah di beberapa negara.[22]
Pada tahun 920 H/ 1514 M, pasukan Utsmani di bawah pimpinan sultan Salim berhasil mengalahkan pemerintahan Al-Safariyah pada perang Jaladiran. Dengan begitu, pasukan Utsmani menjadi penguasa baru kota Irak. Kemenangan pasukan Utsmani tidak hanya sampai di situ, pada tahun 922 H/ 1516 M berhasil mengalahkan pemerintahan Mamluk di Syam dalam peperangan Marj Dabiq di Halb, Syam. Dalam peperangan tersebut pemerintah Mamluk Burji ke 26, Sultan Qanshuh Al-Ghawri terbunuh oleh pasukan Utsmani dan kemudian diganti dengan sultan Thumanbai.
Ekpansi wilayah yang dilakukan oleh pasukan kerajaan Turki Utsmani tidak berhenti sampai di negeri Syam, pada tahun 923 H/ 1517 M mereka melanjutkan perjalanannya ke wilayah Mesir dan berhasil mengalahkan tentara Mamluk Mesir dan membunuh sultan terakhir, Sultan Thumanbai dalam perang Raydaniyah. Dengan begitu, berakhirnya riwayat sultan Mamluk Mesir terakhir, maka berakhir pula riwayat dinasti Mamluk Burji di Mesir dan pemerintahan negara Mesir dikuasai oleh kerajaan Utsmani di bawah pemerintahan Sultan Salim.[23]

Keadaan negara Mesir pada masa Dinasti Mamluk dalam berbagai bidang:
Ø Bidang Politik
Dinasti Mamluk membawa metode baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bercorak oligarki militer. Kepala negara atau Sultan yang behak memegang tampuk kekuasaan dipilih dari pemimpin militer yang terbaik, yang berprestasi, dan mempunyai kemampuan handal untuk mengatur strategi kekuatan tentara pasukannya.
Dengan begitu, mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik agar diangkat menjadi pemimpin dan diberikan kekuasaan. Dalam bidang pemerintahan, prestasi gemilang yang pernah diraih oleh dinasti Mamluk adalah peperangan di Ain Jalut yang mampu mengalahkan pasukan Mongol.
Hal tersebut menimbulkan simpati masyarakat sekitar yang kemudian menyatakan untuk setia kepada dinasti Mamluk. Untuk menjalankan pemerintahan dalam negeri, Baybars kemudian mengangkat kelompok militer sebagai elite politik.[24]
Ø Bidang Ekonomi
Dalam bidang perekonomian, dinasti Mamluk menjalin hubungan dagang dengan negara Perancis dan Italia yang sebelumnya sudah dijalin oleh Dinasti Fathimiyah.
Setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan, Kairo dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Kota Kairo juga dijadikan jalur perdagangan antara Asia dan Eropa karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa.
Di samping itu pada masa dinasti Mamluk, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan di bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan komunikasi antar kota baik jalur laut maupun darat. Ketangguhan Angkatan Laut dinasti Mamluk sangat menunjang  pengembangan perekonomiannya.[25]
Ø  Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam bidang Ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian para Ilmuwan Baghdad dari serangan bangsa Mongol. Karenanya, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama.
Sejak masa Dinasti Fathimiyah, ibu kota Mesir, Kairo dijadikan pusat ilmu pengetahuan.  Di sana merupakan tempat perkumpulan para Intelektual muslim. Di sana juga diadakan kajian-kajian ilmu pengetahuan seperti diadakannya Halaqah-halaqah di Masjid-masjid, bahkan banyak juga didirikan lembaga keilmuan seperti Madrasah, Universitas, perpustakaan, dan lainnya.
Saat ini, Mesir khususnya kota Kairo menjadi tempat yang sangat terkenal dengan keilmuannya dan banyak Mahasiswa dari seluruh dunia yang tertarik untuk belajar di Mesir.[26]
Ilmuan besar yang lahir pada zaman dinasti Mamluk antara lain Ibnu Nafis yakni seorang dokter dan penulis terkemuka pada masanya. Oleh para pengagumnya ia dijuluki The Second Avisenna (Ibnu Sina kedua). Selain itu juga ada Abu Fida, seorang ahli georgafi dan sejarah, dan lainnya. Masing- masing tokoh Ilmuan tersebut menghasilkan banyak karya yang terkenal pada masanya.[27]

















KESIMPULAN

Dinasti Mamluk  terbentuk berkat keahlian para Mamluk (budak) dalam bidang kemiliteran. Mamluk tersebut awalnya merupakan seorang budak yang ditawan oleh penguasa Ayyubiyah dan dijadikan pengawal Istana. Kemudian, Mamluk tersebut sengaja dididik dengan bidang militer dan juga diajarkan ilmu keagamaan dengan tujuan untuk kemudian dijadikan tentara dnasti Ayyubiyah.
Dalam menjalankan pendidikan kemiliterannya tersebut, para Mamluk diberikan fasilitas tempat yang diistimewakan dan terpisah dari masyarakat umumnya, yakni di pulau Raudhah. Dan kemudian para Mamluk yang mendiami pulau tersebut dijuluki dengan nama Mamluk Bahri. Selain itu juga, golongan Mamluk lainnya adalah Mamluk Burji, yakni para tentara Mamluk yang mendiami benteng-benteng (abraj).
Sejarah mencatat bahwasanya tentara Mamluk merupakan tentara yang sangat hebat karena berhasil mengusir bangsa Mogol dan menyelamatkan bangsa Mesir dari serangan pasukan Salib. Kemenangan Mamluk yang sangat gemilang adalah ketika berhasil memenangkan peperangan Ain Jalut terhadap pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Selama pemerintahan dinasti Mamluk juga banyak memajukan keberhasilan di berbagai bidang misalnya ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan ekonomi. Pada saat itu juga banyak melahirkan ilmuan-ilmuan terkenal di bidangnya masing-masing.
Namun, setelah berakhirnya kekuasaan Mamluk Bahri dan bermulanya kekuasaan Mamluk Burji, yang mencolok ketika itu adalah berkurangnya sikap solidaritas antar sesama militer. Akibatnya mereka saling berebut kekuasaan dan rela melakukan apa saja demi mendapatkan tahta kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa sultan yang berperangai buruk, melakukan korupsi, dan lainnya. Hal tersebut tentunya sangat menjatuhkan wibawa kepemerintahan dan memperlemah sistem militer. Akibatnya, mereka tidak mampu lagi membendung serangan kerajaan Usmani sehingga riwayat besar dinasti Mamluk di Mesir tinggallah kenangan dan tampuk kekuasaan beralih pada kerajaan Utsmani.




DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Al-Maghluts, Sami bin Abdullah. Atlas Agama Islam. Penerbit Almahira. Jakarta. 2009.
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Terj. Samson Rahman.  Akbar Media Eka Sarana. Jakarta. 2006.
Antonio, Syafii. Ensiklopedia Peradaban Islam. Tazkia Publishing. Jakarta. 2012.
K. Hitti, Philip.  History of The Arab. Macmillan Press. London. 1974.
Sunanto, Musyrifah.  Sejarah Islam Klasik. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2003.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. CV Pustaka Setia. Bandung. 2008.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000.

Jurnal:
Nur, Abdullah. “Dinasti Mamalik di Mesir” Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 2 Agustus 2005.







[1]Abdullah Nur, “Dinasti Mamalik di Mesir” Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 2 Agustus 2005, hal. 146.
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hal. 235-236.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 124.
[4] Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Agama Islam, (Jakarta: Penerbit Almahira, Cet.1, 2009), hal. 222.
[5] Sami bin Abdullah al-Maghluts, Ibid, hal. 223.
[6] Dedi Supriyadi, Ibid, hal. 236.
[7] Abdullah Nur, Ibid, hal. 149.
[8] Dedi Supriyadi, Ibid, hal. 237.
[9] Sami bin Abdullah al-Maghluts, Ibid, hal. 223.
[10] Abdullah Nur, Ibid, hal. 149.
[11] Abdullah Nur, Ibid, hal. 150-151.
[12] Sami bin Abdullah al-Maghluts, Ibid, hal. 221.
[13] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2006), hal, 306.
[14] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hal. 207.
[15] Musyrifah Sunanto, Ibid, hal. 207-208.
[16] Dedi Supriyadi, Ibid, hal. 238.
[17] Ahmad Al-Usairy, Ibid, hal. 308.
[18] Sami bin Abdullah al-Maghluts, Ibid, hal. 222.
[19] Dedi Supriyadi, Ibid, hal. 241.
[20] Philip K. Hitti, History of The Arab, (London:Macmillan Press, 1974), hal.681.
[21] Dedi Supriyadi, Ibid, hal. 246.
[22] Philip K. Hitti, Ibid, hal.699.
[23] Ahmad Al-Usairy, Ibid, hal. 310.
[24] Musyrifah Sunanto, Ibid, hal. 210.
[25] Badri Yatim, Ibid, hal.127-128.
[26] Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), hal. 122.
[27] Musyrifah Sunanto, Ibid, hal. 212-214.

Komentar

Postingan Populer