Dinasti Tuluniyah
Pendahuluan
Mesir
merupakan wilayah salah satu peradaban tertua di dunia, bangsa dan kerajaan
silih berganti berkuasa disana. Islam masuk ke Mesir pada masa Khalifah Umar
bin Khattab, dengan Amr bin Abi Al-Ash sebagai panglimanya pada tahun 19 H/640
M yang ditandai dengan perjanjian benteng Babylon I.[1] Setelah
Islam masuk, wilayah Mesir hanya menjadi wilayah dalam kekuasaan Islam dan
gubernur dikirim dari pusat pemerintahan.
Dinasti
Tuluniyah menjadi Dinasti Islam pertama yang memerdekakan Mesir dengan
pemerintahan yang independen, setelah 9 abad menjadi provinsi dari negara
berdaulat yang berpusat di daerah lain. Dinasti Tuluniyah berkuasa di Mesir
karena kecakapan dan kemampuan pendirinya yaitu Ahmad bin Thulun. Dinasti
Thuluniyah berkuasa dalam rentang waktu yang cukup pendek, yakni
868-905M/254-292H.
Setelah
Tuluniyah jatuh, daerah yang sebelumnya dikuasai kembali menjadi wilayah di
bawah Dinasti Abassiyah sampai munculnya Muhammad bin Taghaj Al-Ikhsyid. Pada
tahun 323 H, Al-Ikhsyid yang menjabat sebagai gubernur di Mesir mendeklarasikan
dirinya sebagai pemerintahan yang terpisah dari Dinasti Abbasiyah. Pendiri
Dinasti Al-Ikhsyid ini sangat terinspirasi dengan sosok Ahmad bin Thulun
sehingga mengikuti jejak langkahnya dalam berbagai hal termasuk cara
kepemimpinana dan administrasi negara.
Dalam
makalah ini akan membahas asal mula berdirinya Dinasti Tuluniyah,
pemimpin-pemimpin Tuluniyah, kebijakan dan pembangunan serta peninggalnnya,
Dinasti Ikhsidiyah dan jatuhnya para dinasti tersebut.
Pembahasan
A.
Masa
Dinasti Tuluniyah
1. Berdirinya
Dinasti Tuluniyah
Thulun
merupakan ayah Ahmad bin Thulun yang berasal dari bangsa Turki yang tinggal di
wilayah antara Turkistan dan Siberia. Saat gubernur Bukhara di bawah kekuasaan
Dinasti Abassiyah, Nuh bin Asad As-Samani memerangi penduduk wilayah tersebut.
Para penduduk termasuk Thulun menjadi tawanan yang dijadikan hadiah dari gubernur
kepada Khalifah Al-Makmun pada tahun 200 H.[2]
Al-Makmun
menyukai kepribadian Thulun yang cerdas sehingga menjadi Amir pengawal dan
selalu diamanahi tugas menjaga hidup khalifah dan masih bertugas saat berkuasanya Al-Mu’tashim. Al-Mu’tashim
menjadi khalifah pertama yang mempekerjakan orang-orang Turki sebagai pasukan
dan jabatan-jabatan negara.Thulun menjadi orang kepercayaan Khalifah
Al-Mutawakkil (242-247 H).
Thulun
meninggal pada tahun 240 H dan meninggalkan anak yang dinamai Ahmad bin Thulun
yang lahir pada tahun 240 H/835 M di Baghdad.[3]Khalifah
kemudian meyerahkan beberapa tugas yang dipegang oleh ayahnya kepada Ahmad
binThulun, seperti sang ayah Ahmad bin Thulun juga pintar, cakap dan disukai
oleh khalifah dan para pejabat istana.
Setelah ayahnya Thulun meninggal, ibunya menikah
dengan Bagha Al-Asyghar yaitu seorang panglima militer yang juga berasal dari
Turki. Setelah kematian Bagha, ibunya menikah lagi dengan Babak atau Bayik Bey,
yang juga menggantikan posisi militer dari Bagha Al-Asyghar. Pada 868 M, Ibn
Thulun berangkat ke Mesir untuk menggantikan Babak sebagai pejabat pemerintah
Dinasti Abbasiyah dan ditunjuk langsung oleh khalifah.[4]
Kemampuan
militer Ibnu Thulun yang menonjol telah menjadikannya terpilih sebagai anggota
pasukan khusus pengawal khalifah.Meskipun termasuk jajaran pembesar militer
tetapi namanya tak pernah tercatat keterlibatanya dalam peristiwa revolusi yang
dilakukan oleh budak-budak Turki.
Perlahan
Ibn Thulun mulai mengakui dirinya sendiri sebagai gubernur yang memegang
kebijakan independen dan tidak lagi memiliki kaitan hierarkis dengan Khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Dia mulai membuat mata uang sendiri, mengangkat mentri,
kepolisian, bea cukai, membangun istana, membangun dinas intelijen dan masjid.
Atas tindakannya tersebut, Ibnu Thulun
tercatat sebagai pendiri negara Islam pertama di Kairo, Mesir dan
dikenal sebagai Dinasti Thuluniyah.[5]
2. Ahmad
bin Thulun (254-270H/868-883 M)
Pada
awal menjadi gubernur, Ibn Thulun terlibat konflik dengan Ahmad bin Al-Mudabbir
yaitu seorang pengunpul pajak resmi dari Abbasiyah. Konflik terjadi karena
Ahmad bin Al-Mudabbir lebih suka melaporkan pajak langsung kepada Khalifah di
Baghdad dibandingkan kepada Ibn Thulun. Merasa tidak dianggap dan dihormati,
Ibn Thulun mengambil tindakan penjara dan mengasingkan Ahmad bin Al-Mudabbir.
Kekuasaan
Ibn Thulun terus berkembang menjadi besar sehingga wilayah Iskandariah dan
sekitarnya menjadi kewenanganya.Ibn Thulun juga mempersiapkan tentara sebanyak
100.00 prajurit.Ibn Thulun juga semakin terkenal setalah berhasil mengalahkan
gubernur Suriah dan menguasai wilayah tersebut.
Pada
masa kejayaannya, Ibn Thulun berhasil memerintahkan pembuatan 100 kapal perang
dan ratusan kapal kecil sehingga ia menguasai lautan. Pada tahun 833, Ibnu
Thulun melakukan pengepungan terhadap wilayah Tarsus.[6]Pada
masa kepemimpinannya, Ahmad bin Thulun meninggalkan jasa-jasanya terhadap Mesir
yaitu:
·
Membangun kota Al-Qathai’
Thulun membangun kota
di timur lautFusthat antara gunung Yaskur dan kaki bukit Al-Muqtham dan dinamai
dengan Al-Qathai’ yang berarti potongan-potongan pada tahun 256 H/870M.[7] Di
dalam wilayah tersebut ia membagi-bagi blok untuk bermacam-macam kelompok
antara para pemilik profersi, tenaga industry dan pedagang. Setiap blok
dinamakan dengan nama kelompoknya.[8] Ia
juga membangun istana pemerintahan yang bersampingan dengan masjid Jami’
kemudian kota ini mulai berkembang. Kota Al-Qathai ini hancur dibakar saat
penyerbuan dari pasukan Abassiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin Sulaiman
Al-Katib pada tahun 292 H.
·
Masjid Jami’ Thulun
Masjid ini mulai
dibangun pada 876 M dan baru selesai pada 879, yang terletak di atas gunung
Yaskhur. Arsitektur masjid ini dengan model Samarra dengan pola konstruksi yang
biasa dipakai saat Dinasti Abbasiyah.[9]Jendela-jendela
masjid terdiri dari 129 dengan berbagai bentuk dan hiasannya.Ia membangun
masjid ini dengan material dari bahan batu kapur, abu dan batu bata merah
sehungga jika terjadi kebakaran masjid ini tetap berdiri.[10]
·
Bangunan-bangunan lainnya
Masjid lain juga
dibangun di gunung Yaskur dengan nama masji At-Tanur pada tahun 259 H.
mendirikan jembatan-jembatan dan rumah sakit di kota AL-Qathai’. Ia juga
membangun benteng pribadi di pulau Ar-Raudhah.
3. Abu
Al-Jaisy Khumarawaih bin Ahmad bin Thulun (270-282 H/883-890 M)
Pada
844 M, Ibnu Thulun sakit di tengah perperangan lalu meninggal di Syam dan
mewariskan kepemimpinannya kepada Khumarawih sang anak. Khumarawih berkuasa
selama 12 tahun, ia juga mewariskan negara yang kokoh dan teratur, pasukan yang
kuat dan keuangan negara yang berlimpah.[11]
Khumarawih
merupakan pemuda dengan gaya hidup yang mewah dan kepribadiannya tidak sekuat
seperti ayahnya. Ia juga tidak suka berperang dalam masa kepemimpinannya hampir
kehilangan Syam tetapi ia mempunyai panglima Sa’ad Al-Asar yang mampu
mempertahankan Syam dari pasukan Abbasiyah. Pada tahun 273 H, ia menjalin
perdamaian dengan khalifah Al-Muktamid yang berisi bahwa wilayah Mesir dan Syam
berada dibawah kekuasan Khumarawaih dan putra-putranya selama 30 tahun.[12]
Khumarawaih
juga mengikuti kebijakan ayahnya dalam membangun gedung megah berupa
istana-istana dan rumah-rumah.Khumarawaih membangun “Istana Emas” yang dinding-dindinya dilapisi emas dan dihiasi dengan
gambar-gambar Khumarawaih dan para dayangnya dengan mahkota emas diatasnya.[13]
Ia
juga membangun kolam di dalam istananya yang dinamakan Kolam Air Raksa. Puncak
di dalam istannya dinamakan dengan ad-Dakah.Pembangunan besar-besaran untuk
kandang hewan seperti gajah, jerapah, singa dan lain-lainya.Kemewahan tersebut
mengantarkan Dinasti Tuluniyah pada kefakiran.Khumarawih meninggal pada tahun
282 H karena salah satu dayangnya menyusupkan racun ketika perjalanan menuju
Damaskus.[14]
4. Abu
al-Asakir bin Khumarawih (284-292 H/897-905 M)
Pemimpin
yang ketiga dari Dinasti Tuluniyah yaitu Abu al-Asakir bin Khumarawih yang juga
suka dengan kemewahan dan berfoya-foya. Wilayah Syam membangkang dan melakukan
pemberontakan untuk melepaskan diri dari Dinasti Tuluniyah. Sekitarnya
menghasut untuk membunuh ketiga pamannya termasuk Nashr bin Ahmad bin Thulun.
Hal tersebut membuat para panglima marah dan memerintahkan pemecatan atas
dirinya. Abu Al-Asakir bin Khumarawih di pecat dan dipenjara.[15]
5. Abu
Musa Harun bin Khumarawaih
Pemimpin
yang ke-empat yaitu adiknya yang berusia 14 tahun, Harun bin Khumarawih.Pada
masa Abu Musa terdapat 2 pemberontakan yaitu Fatimiyah dari Afrika dan
Qaramitah.Kelemahan terus terjadi sehingga wilayah Syam dikuasai oleh pasukan
Qaramitah pada tahun 290 H.[16]
Khalifah
Abassiyah, Al-Muktafi Billah yang menyadari kelemahan Dinasti Tuluniyah pada
tahun 292 H mengirim pasukan besar deng dipimpin oleh Muhammad bin Sulaiman
al-Katib. Peperangan terjadi di laut Tanis dan juga di Fustat. Harun lari ke
Abassiyah kemudian ia dibunuh oleh kedua pamannya Syaiban dan Adi pada bulan
Safar 292 H.[17]
6. Syaiban
bin Ahmad bin Thulun hanya 12 hari memerintah. Ia menyerah di tangan pasukan
Abbasiyah yang menyerang Mesir pada 905 M/292 H. maka dengan penyerahan tersebut
maka berakhirlah Dinasti Tuluniyah setelah berkuasa selama 38 tahun.[18]
B.
Masa
Dinasti Ikhsidiyah (292 H – 463 H)
Muhammad bin Taghaj Abu Bakar Al-Ikhsyid dilahirkan
di Baghdad pada 268 H/882 M dan berasal dari keturunan Farghana.[19]Ayahnya
hidup semasa dengan Ahmad bin Thulun dan termasuk dalam pasukan Ahmad bin
Thulun dan Khumarawaih di wilayah Tarsus. Menurut Ibnu Zulhaq, Taghaj merupakan
seseorang yang merencanakan kematian Khumarawaih karena Khumarawaih juga telah
berncana membunuhnya. Taghaj juga berperan besar dalam melengserkan Abu
Al-Asakir Jaisy (282 H) dan membantu pasukan Muhammad Sulaiman Al-Katib
menggulingkan Daulah Thuluniyah.[20]
Ketika Dinasti Tuluniyah hancur, Taghaj dan
anak-anaknya termasuk Muhammad bin Taghaj pindah ke Baghdad. Setelah itu mereka
mendapatkan tugas melayani Ahmad bin Bustham sebagai gubernur di Mesir sampai
sang gubernur meninggal pada 297 H. dan melayani gubernur baru Abu Mansur
Takin, pada masa tersebutlah Muhammad bin Taghaj mendapat peran penting sebagai
gubernur wilayah Alxandari dan Syam. Ia juga berhasil membuat pasukan Fatimiyah
mundur (307-309 H).
Karena prestasinya ia ditunjuk sebagai gubernur
Mesir dan diberi gelar “Ikhsyid” oleh Khalifah Ar-Radhi Billah pada tahun 323 H.[21]ia
hanya menguasai wilayah Mesir tetapi ingin diperluas hingga Syam yang mempunya
gubernur Muhamad bin Raiq. Keduanya melakukan perjanjian damai tetapi Muhammad
bin Raiq melanggar sehingga pertempuran antara kedua pasukan tidak bisa
ditangguhkan lagi (327 H).Setelah salah satu saudara Al-Ikhsyid terbunuh yaitu
Al-Husain Bin Taghaj maka antara Mesir dan Syam itu menjalin hubungan. Ketika
tahun 370 H, Muhammad bin Raiq terbunuh Al-Ikhsyid berupaya menguasai
wilayah-wilayahSyam dan meluas hingga Mekkah dan Madinah.
Pada tahun 333 H, Al-Ikhsyid mendapatkan musuh baru
dari Dinasti Hamdan dengan pemimpinya Saifuddaulah Al-Hamdani yang beribukota
di Allepo. Tentara Al-Ikhsyid berhasil menang dan menduduki kota Allepo tetapi
membuat perjanjian damai bahwa ia bersedia meninggalkan Allepo tetapi wilayah
Damaskus tetap di bawah kekuasaanya dan ia membayar upeti setiap tahun.
Pada masa kepemimpinan Al-Ikhsyid menyukai
pembangunan tetapi yang ia bangun tidak berbekas sampai sekarang. Ia membangun
istana dengan nama Taman Al-Kafuri dan istana Al-Mukhtar di Pulau Ar-Raudhah.
Ia juga banyak meenovasi masjid-masjid dan melengkapinya dengan karpet-karpet
serta lampu.
Al-Ikhsyid meninggal di Damaskus pada 22 Dzulqo’dah
334 Hdalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Baitul Maqdis.[22]Setelahnya
terdapat 4 pemimpin lagi dari Dinasti Ikhsidiyah yaitu:
1. Onujur
(334-349 H)
Umur
Onujur ketika diangkat sebagai pemimpin masih kanak-kanak sehingga urusan
negara dikendalikan oleh Abu Al-Misk Kafur.[23]Kepemimpinan
Kafur sangat sewenang-wenang dan suka mengumbar jabatan dan hadiah. Ketika
Onujur telah dewasa ia ingin mengambil kembali kekuasaan yang sebelumnya
diambil oleh Kafur. Pasukan Ikhsidayah terpecah menjadi dua yaitu pasukan
pengikut Onujur dan pasukan Kafur yang ia naikkan jabatannya.[24]
Pada
tahun 343 H, Onujur pergi ke Ramlah untuk menyiapkan perang melaan Kafur tetapi
berkat ibunya antara Onujur dan Kafur memilih berdamai tetapi kekuasaan tetap
dipegang oleh Kafur.
Pada
masa kepemimpinan Onujur ia berhasil mengatur ulang perjanjian dengan Dinasti
Hamdan agar Ikhsidiyah tidak lagi membayar upeti kepada mereka (336 H). Onujur
meninggal pada 8 Dzulqo’dah 349 dan sebagian orang menuduh bahwa Kafur adalah
orang dibalik kematian Onujur.
2. Abul
Hasan Ali (349-355 H)
Abul
Hasan Ali ketika diangkat menjadi penguasa sudah berumur 23 tahun tetapi
kekuasaan negara tetap dipegang oleh Kafur sampai ia meninggal 355 H. Abul
Hasan Ali meninggal diracun oleh Kafur agar bisa berkuaa penuh di Mesir.[25]
3. Kafur
(355-357 H)
Setelah
meninggalnya Abul Hasan, kepemimpinan di Mesir kosong selama satu bulan karena
anak dari Abul Hasan masih balita. Pada bulan Muharram 355 H, Kafur
mengeluarkan surat dari Khalifah Abbasiyah yang isinya bahwa ia ditunjuk
sebagai gubernur di Mesir.[26]
Kafur
pada dahulunya merupakan seorang budak yang dibeli oleh Muhammad bin Taghaj.[27]
Karena kepintarannya ia mendapat pendidikan istana dan menjadi dekat dengan
keluarga Ikhsidiyah. Secara resmi Kafur hanya menjabat selama 2 tahun 4 bulan
tetapi kekuasaan yang ia peroleh semenjak Onujur maka ia telah berkuasa 22
tahun.
Pada
masanya tersebut terdapat serangan dari Al-Muiz Lidinillah Al-Fathimi yang
ingin menaklukan Mesir.Masyarakat Mesir mengalami kelaparan massal, karena gandum
sudah tidak dapat ditemukan dan bayak rakyat yang meninggal. Kafur meninggal
pada Jumadal Ula 357 H dan dimakamkan di kota Al-Quds.
4. Al-Hasan
Bin Ubaidilah bin Taghaj (358 H)
Setelah
meninggalnya Kafur para pejabat istana bermusyawarah dan diangkat Abu Al-Fawaris
Ahmad bin Ali bin Ikhsyid sebagi pemimpin. Pada saat itu wali dari Abu
Al-Fawaris adalah Al-Hasan Bin Ubaidilah bin Taghaj yang tidak lebih baik dari
Kafur. Masyarakat yang kelaparan dan tertimpa wabah penyakit marah sampai
Al-Hasan melarikan diri ke Syam.
Al-Muiz
Lidinillah Al-Fathimi melihat adanya kesempatan dari kacaunya Mesir sehingga
mengirim pasukan yang dipimpin oleh Jauhar Ash-Shaqali. Pada 17 Sya’ban 358 H,
Mesir berhasil dikuasai oleh Dinasti Fatimiyah dan berakhirlah Dinasti
Ikhsidiyah.[28]
DAFTAR PUSTAKA
Azizi, Abdul Salim, Sejarah Bangsa Mesir dari Masa Khulafaurasyidin sampai Daulah Fatimiyah,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2015.
Bianquis,Thierry,The Cambridge History of Egypt Vol.1,
Cambridge University Press, Cambridge, 1998.
Fatiah, Abu Al-Adnani, Journey to Damascus Perjalanan Menuju Negeri
Akhir Zaman, Granada Mediatama, Surakarta, 2014.
Goldshmidt, Arthur JR., A Brief History of Egypt, Infobase
Publishing, New York, 2008.
Hitti, Philiph K.,History of Arabs: From The Earliest Times To
The Present, Palgrave Macmillan, New York, 2002.
Lutfi, Afaf Al- Sayyid Marsot, History of Egypt From The Arab Conquest to
The Present, Cambridge University Press, 2007.
Syafii, Muhammad Antonio, Ensiklopeia Peradaban Islam Kairo,
Tazkia Publishing, Jakarta, 2012.
[1]Abdul Azizi Salim, Sejarah Bangsa Mesir dari Masa
Khulafaurasyidin sampai Daulah Fatimiyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,
2015, Hal. 13
[2]Abdul Azizi Salim, hal. 71.
[4] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopeia Peradaban Islam Kairo, Tazkia
Publishing, Jakarta, 2012, hal. 136.
[5] Muhammad Syafii Antonio, hal.
137.
[7]Abdul Azizi Salim, Hal. 76.
[8]
Afaf Lutfi Al-Sayyid Marsot, History Of
Egypt From The Arab Conquest to The Present, Cambridge University Press,
2007.Hal. 8.
[9]Thierry Bianquis, The Cambridge History of Egypt Vol.1,
Cambridge University Press, Cambridge, 1998, hal. 100.
[10]Philiph K. Hitti, History Of Arabs: From The Earliest Times To
The Present, Palgrave Macmillan, New York, 2002, hal. 575.
[11] Sayyid Abdul Aziz Salim, hal.
80.
[12] Sayyid Abdul Azizi Salim, hal.
80.
[13]Philip K Hitti, hal. 575.
[14]Abu Fatiah Al-Adnani, Journey To Damascus Perjalanan Menuju Negeri
Akhir Zaman, Granada Mediatama, Surakarta, 2014, hal. 195.
[15]Thierry Bianquis, hal. 106.
[16] Sayyid Abdul Azizi Salim, hal.
82.
[18] Muhammad Syafii Antonio, hal.
138.
[19]Thierry Bianquis, hal. 113
[20]Sayyid Abdul Azizi Salim, hal. 86.
[21]Philip K. Hitti, hal. 577.
[22]Thierry Bianquis, hal. 114.
[23]Afaf Lutfi Al- Sayyid Marsot, hal.
13
[24]Thierry Bianquis, hal. 116.
[25]Thierry Bianquis, hal. 118.
[26]Arthur Goldshmidt JR., A Brief History Of Egypt, Infobase
Publishing, New York, 2008, Hal. 45.
[27] Philip K Hitti, hal. 578.
[28]Afaf Lutfi Al- Sayyid Marsot, hal.
14.
Komentar
Posting Komentar