Siti Amira Hanifah - Memoar
Epilog...
Sebuah kewajiban yang menjadi momok sejak
awal semester saya masuk kuliah adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Begitu banyak
gambaran mengenai KKN yang membuat saya sungguh tidak dapat membayangkan
bagaimana jika saya berada di posisi tersebut. Tak pernah jauh dari orang tua
selama sebulan pun terasa menjadi beban bagi saya ketika harus mengikuti
kegiatan tersebut.
Tiba saatnya akhir semester 6, semua mahasiswa
semester itu wajib mengikuti kegiatan KKN. Saat itu pula semua memori yang dulu
tertanam sejak semester awal kembali menguak, jujur rasa takut menyelimuti diri
saya. Kekhawatiran akan konflik dalam kelompok, jauh dari orang tua dan
kesulitan dalam menyesuaikan diri di desa menyeruak.
Pengumuman anggota kelompok telah beredar di
portal kampus, pemetaan wilayah pun sudah jelas pembagiannya. Terdiri dari 11
anggota dengan berbagai jurusan yang berbeda. Ada sedikit hal yang saya syukuri
yakni hanya terdapat 4 orang perempuan di kelompok saya. Sampai dengan akhirnya
hari pembekalan membuat saya dan anggota lain berkumpul di Auditorium Harun
Nasution. Mengenal satu sama lain tetap meninggalkan rasa takut dalam diri
saya. Trauma yang saya miliki sejak duduk di bangku TK kembali menyeruak dan menghantui.
Pada saat pembekalan itu lah saya mulai
mengenal karakter masing-masing anggota kelompok saya yang diketuai oleh mahasiswa
FISIP dan di bendaharai oleh mahasiswi Akuntansi. Saya rasa tidak ada yang
salah dengan anggota kelompok saya, maka itu saya mencoba untuk mulai membuka diri dengan menceritakan
seperti apa diri saya. Bermaksud agar teman-teman kelompok saya dapat mengenal
saya lebih baik ketika eksekusi kegiatan KKN.
Beberapa kali pertemuan saya lakukan dengan
teman-teman sekelompok. Rencana demi rencana kami susun dalam proposal.
Beberapa kali pun kami mendapatkan bimbingan dari dosen pembimbing kelompok.
Sampai dengan saat ini semua masih baik-baik saja. hal ini membuat saya sedikit
bernapas lega dari ketakutan-ketakutan yang pernah menghantui.
Menuju Tempat yang Indah.
Salah satu kegiatan penunjang KKN adalah
survei. Di mana semua anggota kelompok saya diwajibkan untuk ikut survei dengan
alasan agar semua mengetahui kondisi lokasi KKN. Selain itu, survei dilakukan
dengan harapan saya dan kelompok mampu mengenal masyarakat lebih dekat. Survei
demi survei dilewati namun sampai dengan survei terakhir saya dan teman-teman
masih belum mendapatkan kontrakan. Hal itu menjadi sedikit kendala untuk kami,
karena di desa tujuan kami, Toge Lebak, tidak ada kontrakan yang tersedia untuk
kami. Sampai pada akhirnya, H-11 KKN kami baru mendapatkan tempat di Kampung Peuteuy.
Sahabat-sahabatku.
Memiliki rumah dan tinggal di ibu kota membuat
saya terbiasa dengan suasana hiruk pikuk perkotaan. Kemacetan dan cuaca panas
menjadi sajian sehari-hari bagi saya, baik ketika melakukan aktifitas ke
kampus, atau ketika melakukan perjalanan ke kantor tempat saya bekerja. Keadaan
yang sama terus menerus saya alami, sehingga penggambaran saya tentang kota
adalah selalu mengenai kehidupan yang padat dan sibuk.
Suasana kehidupan seperti itu mendadak
berubah ketika saya menginjakkan kaki di Jasinga, Kabupaten Bogor. Bukit-bukit
hijau, deras sungai, serta jalan yang membelah perkebunan kelapa sawit menyapa
damai. Seolah menerima saya dengan senang untuk menjadi bagian dari Jasinga.
Sungguh suasana yang jarang saya dapatkan di kota tempat saya tinggal.
Jasinga sebetulnya tidak terletak jauh dari
keramaian Kota Bogor. Namun, suasana desa yang begitu sejuk dan asri,
membuatnya seperti terletak di wilayah terpencil dan jarang terjamah.
Sawah-sawah masih terbentang luas, petani dengan cangkul dan capingnya sudah
berangkat sedari pagi dan pulang saat siang menjelang. Terdapat pula anak-anak
kecil berjalan bersama melewati sawah menuju sekolah dengan tawa dan canda,
menjadi suasana berharga yang tak biasa saya dapatkan sebelumnya.
Bersama rekan sekelompok, saya tinggal di sebuah
rumah sederhana, di dekat masjid yang selalu ramai jamaahnya. Di sana, saya
berinteraksi dan menjalin hubungan harmonis dengan warga sekitar. Satu hal yang
saya rasakan selama tinggal di rumah singgah, di sana sangat sulit air.
Meskipun begitu, terdapat sumur di dalam kamar mandinya. Tak selamanya sumur
itu berair jernih, di saat hujan turun maka kejernihan air dalam sumur pun
berpengaruh. Konflik demi konflik saya hadapi bersama teman-teman selama
menetap di rumah singgah ini. Dari persoalan makanan, ada salah satu dari teman
saya laki-laki padahal, tapi ia sering kali ikut campur masalah masak-memasak.
Kalau ikut campurnya mampu memberikan solusi atau menjadi sebuah ide bagus itu
tak masalah, namun hal yang ia lakukan tersebut malah berdampak kebalikannya.
Seperti ketika saya pergi ke pasar bersama dia, ia dengan percaya dirinya itu
memilih ikan sebagai lauk yang akan dimasak. Pikir saya, ikan itu akan ia
goreng. Namun yang terjadi adalah ia memasak ikan itu menjadi sayur ikan. Tanpa
persetujuan teman-teman yang ada dan hanya berbekal inisiatif dirinya itu, maka
tak disentuh lah ikan itu dengan teman-teman yang lain termasuk saya. Mengingat
yang ia masak itu adalah ikan mas dan di sayur. Hal itu hanya menjadi
perdebatan kecil di antara saya dan beberapa teman saya. Setelah itu pun kami
memutuskan untuk makan di luar.
Hal tak terlupakan lainnya pun saya alami di
rumah singgah tersebut. Dari awal saya masuk ke rumah tersebut, saya merasakan
sesuatu yang berbeda. Tidak ingin ambil pusing, maka saya tidak menghiraukan
kejanggalan yang ada di rumah tersebut. Mungkin untuk sebagian orang tidak
mempercayai apa yang saya tulis ini. Namun hal ini benar-benar terjadi dan
menurut beberapa penduduk setempat, mereka sependapat dengan apa yang saya
rasakan. Sejak awal saya tinggal di rumah itu, setiap malam saya selalu
terbangun di jam satu sampai dengan jam tiga. Pada awalnya saya biasa aja,
sampai akhirnya di hari ketiga saya tinggal, saya menemukan hal aneh yang
sangat mengejutkan. Ketika saya terbangun dari tidur saya dan menemukan ada
seseorang berjongkok dan menatap lurus kearah kaki saya. Sungguh kaget dan tak
dapat berkata apa-apa. Saya sudah memastikan pada kedipan kedua bahwa ia tidak
bergerak dan hanya menatap lurus ke arah kaki saya. Tepat pada kedipan
selanjutnya, saya kehilangan sosok makhluk itu dan entah mengapa saya tidak berteriak
ataupun berusaha membangunkan teman saya melainkan tertidur kembali secara
tidak sadar.
Satu lagi cerita bernada sama, setelah
kejadian itu saya tidak menceritakan kepada teman saya. Takut mereka merasa
takut dan enggan tidur lagi sama saya. Di hari ketujuh saya bermimpi tentang
sesuatu yang sangat membuat saya ketakutan. Dalam mimpi, saya berada dalam
sebuah ruang di mana ruangan tersebut
dipenuhi dengan kasur-kasur. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah ruangan
lagi namun ruang tersebut selalu tertutup. Tak lama setelah saya mencoba
mengenali ruang apa itu, seseorang datang dari ruangan lain dan mengingatkan
bahwa ada seseorang yang menjaga ruangan tempat di mana saya berdiri. Lalu
ketika saya sadari, saya bersama tiga orang lainnya bergegas mencari tempat
tidur yang akan kami pilih. Naas saya kedapatan tidur di kasur paling pinggir.
Seketika perempuan di sebelah saya menggenggam tangan saya dan berkata, “Teh ayo tidur, bentar lagi ibu keliling.” Entah ibu siapa yang beliau maksud
namun ada rasa ketakutan yang menyelimuti diri saya. Maka saya mencoba langsung
tidur. Masih dalam mimpi yang sama, kali ini saya sedang berada di atas ranjang
yang saya tiduri. Di atas badan saya terdapat sebuah piring yang berisikan buah
labu dan sedang saya cacah menjadi beberapa bagian. Di setiap bagian yang saya
cacah terbentuklah huruf-huruf yang menjadi rangkaian kata dalam bahasa
inggris, “How dare you?” yang
berarti, beraninya kau. Suasana makin mencekam ketika dalam kebingungan tersebut,
wanita di sebelah saya mengagetkan dan berkata, “Teh memangnya mau makan jam
berapa? Ga takut ibu marah?.” Tak pikir panjang lagi, saya langsung memejamkan
mata untuk tidur.
Terbangun dari mimpi itu, saya merasakan
takut luar biasa. Ditambah keadaan kamar dan luar ruangan pun gelap. Saya
berteriak memanggil satu persatu teman saya, namun tidak ada yang menjawab
karena mereka tertidur pulas. Mencoba memberanikan diri, saya melongok keluar
dan menemukan pintu jemuran tidak tertutup. Hal tersebut membuat suasana makin
mencekam, dengan kondisi berkeringat tidak normal saya mencoba menelepon teman
saya yang biasa tidur di bawah, Fariz namanya. Saya tanyakan keberadaannya dan beliau
menjawab sedang di pos dengan warga dan saat itu juga saya minta dijemput dengan
nada parau.
Sesampainya di pos tempat bapak-bapak berjaga
malam, salah satu dari mereka bertanya apakah ada yang janggal selama tinggal
di rumah tersebut? Langsung saja saya ceritakan hal-hal aneh yang saya alami
selama tinggal di sana. Lalu mereka menceritakan asal muasal tempat tersebut.
Hal itu membuat saya bergidik ngeri.
Tidak tahan dengan keadaan tersebut, saya menelepon ayah saya dan menceritakan
kejadian tersebut. Lalu ayah saya menenangkan dan mengingatkan bahwasannya
Allah Subhanuhu wa Ta’ala lah yang
maha pelindung. Beliau menyarankan saya untuk berdzikir sebelum tidur. Sejak
saat itu saya tidak pernah lagi bermimpi yang sedemikian rupa. Meskipun begitu
tetap saja kebiasaan terbangun di jam 1-3 tetap berlanjut.
Beradaptasi dengan
Lingkungan.
Selama beradaptasi di Jasinga, khususnya Kalongsawah,
saya banyak mengetahui hal-hal baru, bahkan yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya. Berbagai permasalahan yang terjadi di desa saya ketahui satu
persatu seiring berjalannya waktu. Selama itu pula saya menjadi lebih bersykur
dengan apa yang telah saya dapat selama ini, segala kelebihan yang
dianugerahkan kepada saya dan keluarga. Sebab, di kampung tempat saya KKN, saya
banyak belajar untuk lebih mensyukuri kehidupan.
Berbagai persoalan terjadi setiap hari.
Bahkan, pemerintah pun belum bisa memberi solusi yang pasti sejauh ini. Masih
banyak masalah yang belum bisa dijangkau pemerintah, sehingga warga desa yang
pada akhirnya harus menyelesaikan secara mandiri.
Pagi-pagi sekali saya berangkat ke SD salah
satu kampung di Jasinga. Di sana saya mengajar bersama teman KKN lainnya,
sebagai salah satu program yang harus dijalankan. Namun ternyata, ada kesulitan
yang tersembunyi dibalik tawa riang anak-anak. Kondisi ekonomi yang rendah,
membuat fasilitas bagi pelajar terbilang minim. Baju seragam pun seadanya. Tak
jarang, anak-anak di kampung hanya memiliki satu atau dua potong seragam saja
untuk sekolah. Itupun sudah kusam dan sobek di beberapa bagian. Buku-buku dan
tas yang mereka bawa pun sederhana. Bahkan, beberapa anak tak membawa tas, dan
hanya menjinjing satu buku saja. Lebih miris lagi, beberapa anak kedapatan
menggunakan satu buku untuk berbagai mata pelajaran. Edukasi belum menjadi hal yang
diperhatikan secara sungguh-sungguh di sana.
Kekurangan tidak hanya terjadi pada buku dan
seragam. Di sana, anak-anak dan warga secara umum yang ingin menuju sekolah,
harus terlebih dahulu melintasi sebuah jembatan kayu yang kurang baik.
Kondisinya cukup membahayakan. Kayu-kayu yang digunakan sebagai alas jembatan
sudah bolong dan keropos. Tidak hanya pejalan kaki, pengendara motor pun perlu
sangat berhati-hati dalam melintasi jembatan tesebut. Karena, terselip sedikit
saja, aliran sungai yang deras dan batu-batu besar sudah menanti di bawah
jembatan.
Saya kira, setelah melewati jembatan,
perjalanan yang sulit menuju sekolah takkan ada lagi. Namun sayang, jalanan
becek di pematang sawah harus saya dan anak-anak lalui untuk mencapai sekolah.
Jalan satu-satunya menuju sekolah itu belum dilapisi aspal dan akan sangat
becek jika hujan turun. Tak jarang mereka harus membuka sepatu dan menggulung
celana sampai selutut untuk menghindari jalanan yang becek tersebut.
Ketika melihat langsung kondisi sekolah,
ternyata tak lebih baik dari jembatan dan jalanan becek yang sebelumnya
dilewati. Atap sekolah masih sering bocor ketika hujan. Jendela-jendela
beberapa keropos, begitu pula dengan bangku dan meja. Bahkan, satu ruangan
disekat menjadi dua bagian, untuk digunakan oleh dua kelas. Kondisi seperti itu
mengganggu konsentrasi siswa, karena pelajaran yang disampaikan akan berseliweran, antara dua kelas dalam
satu ruangan tersebut. Anak-anak yang belajar bahasa Inggris akan bercampur
dengan penjelasan guru Matematika di kelas sebelahnya.
Metode pembelajaran pun agaknya kurang
diperhatikan di sekolah tempat saya mengajar. Di sana, banyak siswa kelas 1 dan
2 belum mampu membaca dan menulis huruf. Hal itu tentunya akan berbahaya jika
dibiarkan, sebab siswa tidak akan mampu mengikuti pelajaran secara benar.
Karenanya, saya mencoba memberikan metode yang menyenangkan, agar siswa
tertarik dan memiliki kemauan kuat untuk bisa membaca dan menulis. Saya berikan
kepada mereka sebuah lagu untuk mengenal warna, mengajari mereka menulis dan
berhitung dengan seksama, dan cara lainnya yang bertujuan memberi akselerasi
dalam pembelajaran mereka.
Selain itu, masalah kesehatan siswa pun
menjadi hal yang kurang diperhatikan. Di sana, terdapat banyak siswa yang mengalami
masalah kulit dan rambut, namun tidak mendapatkan perhatian khusus dari pihak
sekolah. Guru seolah menganggap hal tersebut menjadi tanggung jawab orang tua
dan puskesmas saja. padahal, sekolah adalah rumah kedua bagi para siswa, tempat
mereka mencari jalan keluar dari segala persoalan yang dihadapi. Namun saya
belum merasakan fungsi sekolah yang seperti itu.
Mengabdi untuk Desa.
Segala persoalan yang saya hadapi dalam
menjalankan tugas mengajar di sekolah, mulai dari jembatan, jalan, fasilitas
kelas hingga metode pembelajaran, adalah sebuah problema yang perlu
diselesaikan dengan segera. Saya menyadari bahwa kemampuan pemerintah untuk
menjangkau hal itu terbatas, karenanya saya menjadi yakin bahwa mahasiswa juga
memiliki peran penting untuk membangun desa, termasuk dalam segi pendidikan.
Dari permasalahan yang saya hadapi itu, yang membuat saya kagum, adalah
semangat siswa untuk belajar tak pernah padam, meski keyataan yang mereka
hadapi tak seindah cita-cita yang diteriakkan di ruang kelas.
Tidak hanya dalam segi pendidikan, pada
masalah kesehatan pun saya menemukan sesuatu yang perlu dicarikan solusinya. Di
tempat saya tinggal, kebersihan menjadi sesuatu yang perlu disoroti bersama. Bayangkan,
di sana terdapat satu pemakaman umum, yang ternyata dialihfungsikan sebagai
tempat pembuangan sampah. Hal itu tentu bertolak belakang dengan fungsi
pemakaman sebagaimana mestinya. Pemakaman yang seharusnya ditata dengan bersih
dan indah, menjadi tercemar dengan adanya tumpukan sampah.
Melihat kondisi seperti itu, maka kami
sekelompok berusaha mencarikan solusi yang terbaik. Kami melakukannya dengan
dua cara, yakni secara fisik dan nonfisik. Secara fisik berarti kami
menyediakan alat-alat yang menunjang terhadap proses terciptanya kebersihan yang
ideal, secara nonfisik kami mengadakan penyuluhan tentang kebersihan, sehingga
masyarakat bisa lebih memahami pentingnya menjaga lingkungan. Masyarakat pun
menyambut baik dengan dua cara yang kami lakukan tersebut. Dengan demikian,
kami sebagai mahasiswa yang mengabdi, berusaha memahami lebih dekat masalah yang
ada, kemudian mencari solusinya secara bersama-sama.
Menciptakan suasana desa yang bersih dan
sehat memang tak mudah. Pemerintah melalui Dinas Kesehatan pun masih terus
berusaha mewujudkan hal itu. Namun, dengan langkah yang kami lakukan, besar
harapan kami untuk bisa berkontribusi untuk kebaikan desa yang kami tempati
selama satu bulan itu. Kami berharap, setelah kami menyelesaikan KKN, ada hal
bermanfaat yang bisa diperoleh. Karena setiap pencapaian yang besar pasti
dimulai dari langkah kecil terlebih dahulu.
Setelah satu bulan terlewat dan berbagai
program kerja sudah terlaksana, saya merasa KKN bukan hanya kewajiban
perkuliahan, namun juga sebagai dedikasi bahwa siapapun memiliki keharusan
untuk membangun desa. Masalah yang saya hadapi tidak hanya soal pendidikan,
fasilitas ataupun kebersihan. Banyak tantangan yang saya dan teman-teman KKN
hadapi, namun kami melewatinya dengan langkah yang sudah dipikirkan
matang-matang, serta didukung oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Kami
banyak mengalami kendala, baik itu bersifat pribadi maupun kelompok, namun
tidak menyurutkan niat kami untuk memberikan sumbangsih terbaik yang kami bisa.
Menurut saya, ada hal-hal yang perlu
diperhatikan lebih serius untuk ke depannya. Pertama, adalah soal fasilitas
pendidikan dan kesehatan. Kedua, mengenai sumber daya desa yang bisa
dikembangkan sebagai sektor ekonomi kreatif. Ketiga, komunikasi yang harus
ditingkatkan lebih baik antara pemerintah dan warga desa. Dalam hal ini, warga desa
harus lebih dilibatkan dalam pembangunan, serta segala aspirasi dari warga
haruslah ditindak lanjuti. Dengan demikian, maka cita-cita pemerintah untuk
menciptakan desa yang mandiri dan sejahtera akan tercapai. Sebab ketika turun
langsung ke masyarakat, maka permasalahan akan terasa lebih jelas dan kompleks
dari yang dibayangkan. Sektor sosial, ekonomi, kesadaran hukum, pendidikan,
serta kesehatan adalah hal-hal yang perlu diperhatikan lebih jauh oleh
pemerintah, dan oleh seluruh masyarakat, termasuk oleh mahasiswa sebagai agen
penggerak dan perubahan.
Maka dengan berakhirnya KKN, bukan berarti
pengabdian para mahasiswa kepada masyarakat selesai sampai di sana. Jika
pengabdian hanya sebatas KKN, maka sumber daya yang dimiliki Indonesia melalui
kaum terpelajarnya akan terbuang percuma. Pengabdian adalah berkarya melalui yang
kita bisa, serta dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Hal itu pula yang
menjadi landasan mengapa kami memilih nama kelompok MAGER, yang berarti Mahasiswa
Bergerak, agar perubahan dapat digerakkan dan dimulai dari mahasiswa, oleh mahasiswa
dan untuk masyarakat. Pada akhirnya, KKN adalah ajang untuk mengenali siapa
diri kita sesungguhnya, apa tugas kita, dan apa yang bisa kita beri untuk
masyarakat. KKN merupakan proses mendewasakan diri dan membentuk diri
sebagaimana seharusnya.
-Sekian-
·
Memoar adalah suatu kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa
masa lampau yang menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan
pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami, atau bisa
disebut dengan catatan atau rekaman tentang pengalaman hidup seseorang.
(http://kbbi.web.id/memoar)
Komentar
Posting Komentar