Villarian Burhan - Senja di Kalongsawah

Epilog...

Idealisme Vs Pragmatisme KKN.
Sebagai seorang yang sudah aktif di organisasi kampus dan dunia aktivisme, mendengar agenda KKN tentu adalah sebuah kesempatan yang strategis dan tak boleh saya lewatkan untuk mengeksplor wawasan saya. Meski KKN menjadi sebuah tugas akademik yang memiliki bobot 4 SKS, hemat saya KKN adalah bentuk aktualisasi diri para mahasiswa sebagai kontrol sosial yang memiliki tanggung jawab moral yang besar terhadap bangsa yang harus senantiasa dijaga dan tak perlu menunggu agenda KKN. Dengan bayang-bayang bergelut dengan rakyat desa, bersekutu dengan pikiran masyarakat, saya berharap KKN memiliki signifikasi terhadap kehidupan masyarakat di desa ke depanya.  Pada awalnya banyak opini yang mengganggu pola pikir saya terhadap KKN, sehingga membuat saya merasa KKN menjadi tidak seperti apa yang saya sebelumnya gagaskan, bahwa KKN adalah tempat nyantai, membuang-buang waktu, membuat laporan palsu,  yang penting memberikan dokumentasi acara kegiatan, dan selesai dengan membagi-bagi uang sisa KKN. Agaknya opini tersebut membombardir pikiran para mahasiswa yang akan memulai KKN dan diterimanya dari senior-senior yang tak bertanggung jawab. Hal ini sangat mengganggu idealisme saya terhadap apa yang saya wacanakan terkait program nantinya. Lebih dari itu saya juga mengalami kekacauan konsentrasi yang disebabkan oleh berubahnya regulasi terkait anggota kelompok yang diterbitkan pada saat menjelang pra KKN dimulai. Lumayan mengecawakan awalnya, tapi seperti pada hal lainya selalu saja ada hikmah yang muncul pada setiap kejutan yang menyebalkan. Kekhawatiran yang mendalam sebelum akhirnya KKN dimulai adalah, dapatkah semua anggota kelompok saya mendapati solidaritas yang kuat  dan merevolusi pola pikir dan mental dengan waktu yang relatif singkat agar ketika sampai kita pada pergumulan bersama penduduk dan aparat desa mampu menemukan titik temu dan sinergitas sehingga solusi yang kami siapkan kelak tidak kontra produktif dan diterima oleh masyarakat, sementara kita berangkat dari ketidak kenalan dan latar belakang dan kapasitas yang berbeda.

Dewasa Ialah Menerima Rasa Jengkel.
Dalam perjalananya saya adalah ketua kelompok yang tidak sengaja ditunjuk oleh Amira yang kebetulan sudah mengenal saya sebelumnya, dengan mata yang kosong anggota lainya menerima dengan lapang dada. saya telah memiliki sedikit pengalaman dalam soal berkelompok, berorganisasi, memanajemen konflik, memahami situasi, dan menjalankan suatu agenda. Tapi yang beda dalam hal KKN kali ini adalah—kita dibawa ke dalam persinggungan emosional yang langsung dihadapkan juga kepada profesionalisme, padahal yang saya rasa kawan-kawan anggota banyak di antara mereka tak memiliki latar belakang organisasi atau dengan kata lain mahasiswa kupu-kupu. Selama pra KKN berlangsung yang kurang lebih tiga bulan, kami sering berhimpun untuk sekadar silaturahim dan rapat membahas persiapan KKN, dan dalam proses pengenalan ini benih-benih konflik bermunculan dan suasana kelompok berimbas pada polarisasi. Dikarenakan satu pihak yang dianggap antagonis dan selalu berprasangka buruk pada setiap hal, kawan-kawan anggota kelompok mulai mencibir dan menjadikanya seseorang itu buah bibir di mana-mana. Sebagai ketua saya hendak melerai ini semua, mengambil langkah untuk tidak terprovokasi oleh asumsi. Walhasil semua suasana kembali normal dan berada pada titik suasana yang hangat dan bersahabat.
Sampai di desa kami merasa sumringah, kelompok saya pun terlihat meyakinkan untuk memulai program, sampai akhirnya satu pekan perasan dan keyakinan saya berubah, masing-masing anggota menunjukan siapa dirinya yang sesungguhnya. Menunjukan kemanjaan dan mental-mental anak mami, seperti tidak mau menimba air sumur dan memilih numpang mandi di rumah tetangga yang menurut saya itu menyusahkan orang lain atau memilih mandi di pom bensin. Walau kami terlihat kompak dan solid, di dalamnya gaduh dengan ego dan prasangka yang buruk, lempar-lemaran tanggung jawab atau kebiasaan menyalahkan orang lain, misalnya di pekan pertama saya masih melihat jadwal masak dan bersih-bersih berjalan efektif dan teratur, minggu kedua mulai seenaknya sendiri dan tak terkendali. Kepedulian sebatas tanggung jawab program pribadi dan kesenggangan kelompok di dalam kelompok. Ada juga yang merasa yang paling benar sendiri, hal ini menunjukan betapa kelompok saya sangat dinamis. Sempat juga terjadi keributan soal pendapat terkait praktik ibadah yang menurut saya tak ada kaitanya sama sekali dengan program KKN, atau misalnya lagi soal interaksi ke warga yang agaknya keliru disalah seorang anggota yang disebabkan oleh benturan budaya, dinamika ini mengantarkan saya pada keputusan untuk mengevaluasinya, tapi terlihat sekali di antara yang menurut saya bermasalah dalam soal kelompok adalah mereka yang tak memiliki pengalaman organisasi, dari sebelas anggota hanya tiga orang yang aktif dalam organisasi. Signifikansi dari pengalaman organisasi sangat tercermin di dalam kelompok ini, pada efektifitas program, kerja keras, kreatifitas, dan tanggung jawab.
Dalam hal ini saya berkeyakinan untuk lebih mementingkan program KKN ketimbang semua hal ini. Urgensi KKN dengan jadwal yang padat, satu bulan tak cukup untuk menyelesaikan urusan pribadi dan kelompok, ditambah dinamika dan kompleksitas problem desa yang kami tangani membutuhkan konsentrasi agar program dan pendekatan yang kami jalankan berjalan efektif dan tidak sia-sia dengan kapasitas yang kami miliki. Pelajaran berharga dan berarti dalam kelompok ini adalah tentang bagaimana menghargai perbedaan dan memastikan diri untuk mampu membunuh egoisme di dalam diri agar setiap kebersamaan tetap berjalan. Karena saya bersama kelompok tidak lepas dari segala aktifitas terhadap masyarakat dan sebagai ketua saya bertanggung jawab penuh atas hal tersebut. Mentalitas serasa mengalami goncangan dahsyat yang menyebabkan segala hati dan pikiran kacau balau, padahal saya harus tenang mengahadapi setiap momen yang terjadi. Tingkat kesabaran diuji, netralitas dan sikap bijak dituntut agar terciptanya harmoni kelompok. Saya merasa diajak untuk dewasa tanpa harus menggurui dan merasa tinggi di atas anggota lainya. Kerendahan hati menjadi penyejuk yang mampu menjadi pemadam kebakaran dari momen-momen yang kacau. Saat-saat yang masih terngiang di kepala ialah saat di mana saya dan kelompok berjibaku memalingkan konflik dan fokus kepada kerja, dan hal tersebut termotivasi oleh semangat warga yang ikhlas membantu kelompok kami, bersinergi, dan mengurangi beban kelompok. Waktu yang mungkin spesial adalah ketika kita tertawa bersama menontoni lelah dan pusingnya kerja kelompok berjuang keluar dari setiap kendala, meski saya harus jujur itu tidak secara keseluruhan, walau tanpa mengurasi apresiasi saya terhadap teman sekelompok, tapi saya cukup dapat menilai beberapa orang yang akhirnya memiliki arti dan memberikan sebuah pembelajaran buat hidup saya kedepanya. Terlepas dari baik dan buruknya setiap individu, keberhasilan dan kegagalan ada di tangan semua anggota kelompok. Kekurangan di sana-sini menjadi sebuah pengalaman yang nanti dapat saya koreksi pada setiap kegiatan kelompok lainya, tapi makna sesungguhnya adalah ketika saya benar-benar memandang KKN sebagai sebuah keluarga. Meski saya tidak pernah mengambil hati seseorang seperti apa, tetapi saya akan tetap memastikan hati saya akan selalu ada untuk mereka.

Desa Rasa Kota, Matinya Gotong Royong.
Desa yang saya tinggali adalah desa rasa kota, secara administratif dan fisik Desa Kalongsawah memang masuk ke dalam kategori desa, namun tidak dalam soal hubungan sosial. Setelah mengamati lambat laun saya mendalami dan mengobjektifikasi budaya dan struktur masyarakat  yang memiliki ketimpangan yang ekstrim dari apa yang sering kita sebut sebagai desa. Desa yang ada di kepala saya merupakan pemukiman yang berjarak dan masyarakat tradisional yang masih menjaga tradisi gotong royong atau amanat leluhur yang biasanya dijalankan secara kolektif. Tapi pada kenyataanya apa yang saya dapati ialah desa di mana  aroma individual atau gaya hidup masyarakat urban sangat terasa dari permukaan. Desa yang dikenal dengan gotong royong dan solid ini menyimpan sekelumit persoalan yang kompleks di mana kesadaran masyarakat akan kebersihan sangat amat rendah, disintegrasi atau perpecahan kelompok pemuda, konflik antar pemuka agama dengan masyarakat, kehidupan yang dogmatis berhadapan dengan masyarakat pragmatis, ketimpangan kognitif yang sangat ekstrim. Politik desa yang mengedapankan masalah uang, kesadaran pendidikan yang lemah dan krisis kebudayaan, berikut itu adalah sekelumit persoalan yang bagi saya adalah menjadi poin penting yang menjadi serangkaian realitas yang saya hadapi selama KKN berlangsung.
Sebagai contoh di Kampung Peuteuy yang memiliki empat RT dan lebih dari sepuluh gang hampir memiliki acara tujuh belasan masing-masing yang muncul bukan tanpa sebab, melainkan adu gengsi yang ketika saya telusuri tak jelas asal masalahnya kecuali gengsi. Struktur ekonomi masyarakat menunjukan sebagai penyebab utama, lebih dari 80% masyarkat desa bekerja sebagai supir di Jakarta, banyaknya pendatang yang hilir mudik dan membangun rumah di desa ini semakin menjadikan desa heterogen. Menurut pengakuan Pak Kaeng selaku RT setempat, “Masyarakat desa ini orang-orangnya bodoamatan, layaknya di Jakarta aja” tandas Pak Kaeng. Penghasilan dari pertanian tak bisa diharapkan, distribusi menjadi kendala, dan banyak yang memalingkan potensi pertanian. Kesadaran pendidikan terbilang rendah, makanya saya sebagai mahasiswa sangat dihargai dan diberikan tempat yang istimewa di hati masyarakat. Semangat proletarisme masih mengakar dengan kuat. Parahnya aparatur desa tidak memiliki kepercayaan dari masyarakat, dan sebaliknya aparatur memang tak pernah bisa dipercaya, kecemburuan sosial di antara kampung di Desa Kalongsawah tak pernah mampu dapat diredam oleh kepala desa. Pembangunan fisik yang tak merata, perhatian yang kurang, dan banyak cerita dari masyarakat yang berpendapat terjadinya praktik korupsi dan kolusi di dalam pemerintahan desa. Hanya saja tak pernah bersatu dan membiarkan semua itu berlangsung, seperti pohon jati yang berakar kuat begitulah gambaran umum apatisme masyarat sehingga kematian akan kepedulian terhadap desa telah lama dikibarkan bendera kuningnya. Hanya segelintir orang yang masih bertahan untuk menolak percaya bahwa perubahan tidak akan kunjung datang. Yang cukup menjadi perhatian adalah para kiai yang tergolong konservatif, terkenal di desa tersebut agama sebagai aspek yang anti dengan ke modernisasian. Sebagian elit agama di sana percaya bahwa itu adalah perbuatan bid’ah, yang cukup mengagetkan adalah terjadinya praktik korupsi di dalam manajemen masjid. Ini adalah cerita dan ungkapan sepihak masyarakat, dan terjadinya politisasi  dalam jajaran kepengurusan masjid. Salah seorang ketua pengajian adalah eksponen Partai Persatuan Pembangun yang baru saja kalah dari kontestasi pemilihan kepala desa. Dia adalah pendatang dan hadir sebagai seorang karimastik yang memiliki gelar sarjana, dan dalam perjalanan itu elite masyarakat di dalam kepemudaan mencurigai adanya niat politis dalam diri orang tersebut, sontak hal itu menjadi buah bibir dan menumbuhkan prasangka. Sama halnya dalam struktur kepemudaan, mereka berisikan mantan preman yang bisa dikatakan sudah taubat tapi masih menjadi nilai-nilai lama dalam hal keseharian, misalnya main kartu sampai pagi, bercakap dengan bahasa yang kasar tapi memiliki semangat, dan tingkat kesadaran sosial yang tinggi. Pergumulan saya dengan mereka menjadi sebuah penelitian kecil-kecilan yang mampu menggambarkan kondisi objektif di dalam desa tersebut. Tidak lupa saya ingin menggambarkan infrastruktur desa yang penuh ketimpangan di antara pemukiman yang sudah bertembok dan berkeramik terselip  rumah yang hanya berbahan bilik bambu kusam dan hampir rontok, atau rumah-rumah yang berisikan dapur yang menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya, sungai yang dicemari oleh sampah dan limbah rumah tangga, serta ada beberapa kampung juga yang minim penerangan dan jalan terjal yang tak pernah terjamah pembangunannya. Kesulitan saya menggambarkan kondisi Desa Kalongsawah hanya mampu dijelaskan oleh kata timpang.

Revolusi atau Reformasi.
Jika ditanya apa yang akan saya lakukan untuk desa, hanya dua kata yang terbesit di kepala saya, revolusi dan reformasi. Untuk apa?. Untuk melakukan pembangunan, pembangunan manusia yang mampu menciptakan masyarakat yang berpikir kritis dan bertindak rasional. Secara teknis saya ingin membuat jejaring organisasi masyarakat yang kuat, yang berlandaskan asas-asas konstitusional, dari organisasi-organisasi tersebut akan tercipta aktor-aktor intelektual yang menjadikan rantai intelektual organik, sehingga kesadaran masyarakat tumbuh dan embrio gerakan sosial bertumbuh dari akar rumput. Mengingat struktur politik dan ekonomi politiknya tak mendukung dan cenderung hegemoni. Organisasi masyarakat dibutuhkan untuk menjadi garda oposisi atau kontrol sosial dan melawan centeng-centeng yang mempertahankan status sosial. Kenapa ini menjadi penting, apa yang menjadi Desa Kalongsawah bertahan pada keadaan yang menurut saya terbelakang adalah kesadaran politik dan pengetahuan masyarakat dibiarkan mengatung pada nilai-nilai konservatif era orde baru. Proses tersebut bermain pada beberapa variabel, di antaranya adalah ekonomi politik yang ditunjang dengan liberalisasi kepemilikan, dan  menyebabkan masyarakat yang tak memiliki standar kualifikasi untuk pergi ke kota. Budaya politik bersifat pragmatis dan masih terselip juga feodalisme di alam pikiran masyarakat desa.
Apa yang saya ingin lakukan lewat jalan organisasi ialah melakukan pendidikan, penyadaran, dan pergerakan yang berbasis gotong royong. Disaat menunggu perubahan datang dari pada pemimpin yang sama saja membiarkan beberapa pihak mengambil keuntungan sendiri. Fungsi ormas adalah menjaring masyarakat dari berbagai lapisan dan latar belakang. Sehingga saat di mana kesadaran itu tumbuh akan berbanding lurus dengan perubahan budaya politik. perubahan adalah keniscayaan dan sumber daya manusia yang berkualitas akan berdialektika dengan keadaan yang koruptif. Di samping itu saya juga ingin membangun kanal media yang mampu diakses secara massif dan aktif oleh desa, bisa berupa koran, tabloid atau lewat media sosial. Sehingga pembangunan wacana, dan konter wacana dapat terjadi. Proses bertukar pikir yang dapat berpengaruh pada kesadaran akan menjadi masyarakat kritis adalah keniscayaan dan bukan suatu hal yang mustahil. Membuat ormas yang kuat dan berkualitas, media yang independen, menjunjung tinggi kepentingan rakyat, dan menciptkan sebuah pelatihan atau penyuluhan usaha ekonomi kolektif yang berbasiskan koperasi. Bertujuan menciptakan kemandirian ekonomi, dan membuka lapangan pekerjaan agar masyarakat tak lagi secara besar-besaran mencari lapangan kerja di kota. Desa tumbuh menjadi lebih produktif dan dapat kembali menggali kebudayaan para leluhur Desa Kalongsawah yang telah lama mati diterpa liberalisme dan jebakan modernisasi.

Apa yang saya sudah lakukan hanyalah secuil pengamatan dan proses memahami kondisi dan situasi, menyelami hati masyarakat, harapan, dan struktur sosial. Lewat berdialog, mencatat setiap variabel, mencari akar masalah, meneropong konjungtur politik dan ke mana arah kepentinganya juga serta siapa-siapa yang berkuasa, dan memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan di desa. Tapi dari proses itu saya belum berkontribusi, bahkan saya merasa belum melakukan apapun untuk desa, kebanyakan dari program KKN bersifat sementara dan satu program yang berkelanjutan masih belum dapat saya yakini akan terus dilanjutkan oleh masyarakat atau tidak. Tapi saya sudah berjanji akan kembali menengok keadaan dan bersilaturahim ke desa untuk ke depanya, dan disaat saya masih di dalam kampus. Saya menyiapkan segala potensi, kapasitas, dan mentalitas agar apa yang mungkin saya tulis di atas dapat terjadi atau setidaknya telah di upayakan. Sehingga semua asa tak hanya menjadi beban moral atau khayalan para mahasiswa, melainkan sebuah pemetaan yang kelak menjadi bagian dari kontribusi terpenting bagi kaum intelektual atau orang-orang berilmu. Apa yang akan saya lakukan juga bergantung pada konstelasi politik dan ekonomi yang ke depan nanti akan kita hadapi, melihat begitu dinamisnya kehidupan demokrasi di negara ini. Saya ingin mendorong adanya regulasi dan atau sistem KKN yang lebih efektif kedepanya, dan mengukur kapasitas kelompok yang berbeda-beda. Pembimbingan dalam kegiatan KKN menjadi yang terpenting, agar inisiatif dan wacana mahasiswa atau anggota kelompok KKN dapat terurai dan tersalurkan lewat pembimbingan yang baik dan benar. Karena saya secara kebetulan adalah seorang ketua umum dari salah satu anggota organisasi ekstra kampus, tahun depan saya akan adakan pelatihan dan bimbingan KKN bagi para mahasiswa yang akan mendaftarkan KKN, supaya organisasi menjadi yang terpenting, karena untuk memberikan kontribusi, pemahaman, dan pelatihan terkait KKN kepada kader dan anggota. Tentu itu adalah upaya nyata menciptakan kader yang berkualitas dan mampu menjadi pemimpin yang dapat menyelesaikan masalah dengan baik, bukan pencipta masalah. Dengan adanya pelatihan itu juga saya berharap dapat mengurangi beban kampus yang terbatas, dan kadang lalai dalam mengoptimalisasyikan program atau agendanya. Lewat jalur organisasi ekstra yang saya ikuti, saya akan lebih mendorong untuk melakukan gerakan advokasi ke desa tempat saya KKN dan melanjutkan apa yang saya sebelumnya wacanakan. Karena saya percaya bahwa organisasi adalah sebuah ruang dialektis yang dapat mendorong tiap-tiap individu mengakumulasikan manfaat dan menjadikan faktor-faktor produksi sebagai alat pergerakan dan juga sebagai alat birokrasi pada suatu daerah. Dari organisasi juga kita dapat mengkoneksikan kepentingan desa kepada pihak-pihak yang memang bertanggung jawab atas pembangunan dan segala keterbelakangan yang berlangsung. Sehingga baik itu perbaikan ataupun perlawanan terhadap kesewenang-wenangan terhadap apa yang terjadi di desa, dapat segera diatasi dan dimulainya perubahan. Karena menjadi penting ketika saya yang sadar mengetahui kondisi tersebut penguasa pun harus dan wajib mengetahuinya. Lewat jalur pergerakan advokasi, dan aksi mungkin dapat menjadi salah satu anti-tesa yang masuk akal, dari pada diam dan menunggu perubahan itu datang dari langit. -Sekian-

Komentar

Postingan Populer